Kamis, 18 Oktober 2012

Klinik Bedah


Sesudah mendaftar, saya pun duduk manis di salah satu beberapa bangku di ruang tunggu Klinik Bedah Umum RS. Bethesda Yogyakarta. Pagi itu saya mendapat nomor antrian ke-41 dan dokter yang bertugas belum ada yang datang.

"Kira-kira berapa lama ya antrinya?" tanya saya kepada salah satu petugas jaga.
"..ditunggu saja mbak, ngga lama kok karena hari ini dokter yang bertugas ada 2 orang"

Seperti kebanyakan orang yang sedang mengantri biasanya handphone menjadi pelarian. Saya juga, siapa tahu ada wifi. Ternyata wifi tak ada. Sinyal pun tak ada. Televisi yang ditonton juga tidak terdengar suaranya hanya visual saja. Mau dengar musik tapi nanti tidak terdengar saat dipanggil. Terimalah keadaan entah berapa lama saya akan terbengong-bengong disini.

Akhirnya pandangan saya mulai menjelajah disekeliling. Melihat-lihat dan mata  pertama jatuh pada seorang pemuda yang duduk berseberangan didepan kanan saya. Pemuda ini memakai seragam putih abu-abu, tangan kanannya menggantung diperban. Saya mengira-ngira dalam hati, mungkin dia korban kecelakaan,...anak SMA biasanya kan suka ugal-ugalan kalau naik sepeda motor.... Mungkin. Tiba-tiba dia berdiri, berjalan pincang dengan susah payah dibantu Ibunya menuju ke tempat petugas jaga. Terdengar samar-samar menanyakan jam berapa dokter akan datang, karena siang ini dia akan mengikuti ulangan harian di sekolah. Rasa iba saya justru kepada sang Ibu. Dengan seragam PNS-nya,  sang Ibu pasti harus bolak-balik kantor, sekolah dan rumah sakit untuk menemani si anak berobat.

Pandangan berikutnya, seorang wanita tua berumur sekitar 70 tahun. Berjalan menuju tempat pendaftaran dengan tertatih-tatih seorang diri memakai tongkat penyangga yang diapit dibawah ketiak kanannya. Mungkin Ibu ini terpeleset di kamar mandi, atau kakinya tersandung batu saat jalan di malam hari. Mungkin. Tidak ada yang menemaninya berobat.

Kemudian ada juga seorang pemuda dengan rambut gaya ala punk, kedua telinganya ditindik dengan anting bulat hitam yang tengahnya berlubang besar. Berjalan dengan kaki terseok-seok, tangan kirinya terdapat banyak luka memar. Ini pasti korban kecelakaan motor juga. Mungkin bukan pasti. Siapa tahu ada penyebab lain. Pemuda ini ditemani wanita agak tua yang sepertinya adalah Ibunya.

Mata saya ganti beralih ke drama korea. Saya takut orang-orang akan risih dengan pandangan saya yang terus memperhatikan mereka. Terlihat juga dokter sudah datang. Dokter perempuan. Tetapi baru satu dokter. Ah lumayan antrian jadi berkurang.

Tetapi mata ini tidak betah melihat tontonan yang komat-kamit saja. Pandangan pun beralih kepada seorang anak perempuan berumur kira-kira 7 atau 8 tahun yang baru saja keluar dari ruang periksa. Di bawah mata kirinya diperban.  Sekeliling  perban bengkak memar biru kehitaman. Wajahnya cemberut seperti sedang kesal. Mungkin lukanya sakit sekali. Mungkin kelamaan antri. Rumahnya jauh lagi. Mungkin. Dia ditemani kedua orang tuanya dan kemudian mereka duduk di bangku persis sebelah kanan saya.  Sang Ibu lalu mengambil sebotol air mineral dari dalam tas jinjingnya dan memberikan kepada si anak. Karena duduk bersebelahan, mulut saya sudah terbuka akan bertanya: "..itu lukanya kenapa, dek?.." Tiba-tiba terdengar nama saya dipanggil. Nyonya Dwi Lestari Septiana...Ya! saya lalu berdiri dan buru-buru masuk ke ruang periksa.

Tempat yang cukup baik untuk merenung adalah duduk antri di klinik bedah umum. Merenung bukan melamun. Diantara kemalangan-kemalangan yang saya lihat disana, saya belajar untuk lebih bersyukur. Belakangan ini saya sedang berjuang melawan gerutu, keluh dan marah. Memahami bersyukur rasanya sudah paling paham. Tetapi kenyataanya tidak bagi saya. Saya sering kalah. Terima kasih Tuhan saya bisa merenungkan hal ini. Kali ini saya yakin, bukan mungkin. Pasti satu setengah jam diijinkan duduk manis supaya saya lebih menghargai hidup dengan bersyukur dari hati yang tulus.



Selasa, 09 Oktober 2012

Teman Khayalan


Sebuah nama tiba-tiba terucap dari mulut Karen.....S a d o t...
"Ma, cerita tentang sadot dong..."
"Sadot?? Sadot itu apa??"
"Sadot itu teman kakak..."
"...????..."

Berulang kali Karen dengan 'seenaknya' minta diceritain tentang Sadot. Saya bertanya-tanya dalam hati, Sadot itu siapa, anaknya siapa, tinggal dimana, kok bisa Karen kenal dengannya? Mungkin lihat di televisi....tapi sepertinya bukan..

Akhirnya saya punya ide untuk bercerita. Dalam cerita tersebut, seolah-olah Sadot adalah Karen sendiri hanya namanya saja yang diganti. Begitu pula adik Sadot yang dalam cerita adalah adik Sharon (adiknya Karen). Adik Sadot bernama Sabot...Nama yang aneh..

Mulailah saya bercerita tentang Sadot pergi jalan-jalan ke Mall bersama orang tua dan adiknya Sabot. Cerita ini tentang hal-hal yang harus dilakukan ketika Sadot ke Mall. Selama di Mall, Sadot harus tetap berpegangan tangan dengan orang tua terutama saat naik eskalator dan lift. Sadot pernah melepaskan tangannya dari genggaman Papa sehingga ia kehilangan orang tua dan adiknya. Sadot jadi panik dan takut tetapi ia lalu teringat Mamanya pernah mengatakan padanya jika suatu saat kamu hilang di Mall, segera cari pak Satpam supaya diantarkan ke bagian informasi untuk membantu mempertemukanmu dengan Papa dan Mama.

Dari cerita tadi. yang saya tekankan kepada Karen adalah persis yang Sadot lakukan. Harus berani menemui pak Satpam. Jika ada orang yang tidak dikenal, jangan mau untuk ikut dengannya.

Satu cerita tidak cukup. Karen minta diceritakan dengan tema yang berbeda. Tidak sulit mendapatkan ide cerita lain karena sebenarnya saya menceritakan kehidupan Karen sendiri.

Cerita berikutnya tentang Sadot yang mandiri. Sadot bangun pagi-pagi langsung mandi sendiri, sabunan sendiri, sikat gigi sendiri. Sedangkan adik Sabot masih kecil masih dimandikan Mamanya. Sadot juga pakai baju sendiri. Tetapi memakai sepatu masih dibantu sama Mama. Sadot juga makan sendiri sementara si adik Sabot disuapi oleh Mama. Cerita ini menjadi penyemangat bagi Karen bahwa ia tidak mau kalah dengan Sadot yang sudah bisa mandi sendiri, pakai baju dan makan sendiri.

Cerita yang lain tentang Sadot pergi sendiri ke rumah Oma. Dalam cerita sebenarnya, rumah Karen dan rumah Oma hanya berjarak 50 meter. Isi cerita tentang Sadot mulai berani jalan sendiri dengan mengingat pesan Mama, kalau berjalan di pinggir sebelah kiri jalan. Jika ada sepeda motor atau mobil, Sadot harus berhati-hati. Kalau ada orang yang Sadot tidak kenal, jangan mau ikut ya...

Beberapa cerita Sadot yang lain,
Sadot yang tidak berebutan mainan dengan Sabot
Sadot yang kalau makan selalu habis
Sadot yang selalu merapikan mainan setelah bermain
Sadot yang mematikan televisi jika tidak ditonton

Semua cerita telah memberikan dampak positif bagi Karen. Ia jadi lebih mandiri dan semua datang dari keinginannya sendiri yang ingin seperti Sadot.  Saya belum melihat dampak negatif dari teman khayalannya ini. Mungkin para psikolog anak punya pendapat sendiri. Tetapi jika Sadot itu benar-benar nyata, saya mau bilang terima kasih yang banyak padanya.."jangan bosan main ke rumah ya, Sadot... see you... and take care!"



Kamis, 04 Oktober 2012

Mengapa Saya Kuatir???


Saya cemas akan masa depan
Akan makan apakah saya nanti?
Saya mau pergi melihat burung-burung gagak....
Mereka tidak menabur, tidak menuai, tidak mempunyai gudang atau lumbung
Tetapi mereka diberi makan oleh Sang Pencipta

Saya bukan burung gagak kan? Saya jauh lebih baik dari burung gagak


Mengapa Saya Kuatir???


Saya cemas akan masa depan
Akan berpakaian seperti apakah saya nanti?
Saya mau pergi melihat bunga bakung di padang....
Mereka tidak bekerja, tidak memintal dan tidak menenun
Tetapi mereka didandani begitu indah oleh Sang Pencipta

Saya bukan bunga bakung kan? Saya jauh lebih baik dari bunga bakung


Mengapa Saya Kuatir???