Sabtu, 29 September 2012

Anak Laki-laki


Kabar gembira datang dari seorang teman di Batu Kajang, Kalimantan Timur yang sudah saya anggap juga sebagai kakak karena usianya yang 7 tahun diatas saya. Anaknya yang ketiga telah lahir, perempuan. Jadi, ketiga anaknya semua perempuan. Dia dan suami bersuku Batak...Orang Batak..so, what??? Orang Batak kan harus punya anak laki-laki...

Setelah anak kedua saya lahir, seorang anak perempuan lagi. Saya dan suami sempat membahas tentang memiliki anak laki-laki. Kami sepakat untuk mendoakannya dari sekarang memohon anak laki-laki. "Lalu bagaimana nanti jika ternyata diberi anak perempuan lagi? Ya, kita berdoa saja...kata suami saya."

Kemudian tadi siang, saya baru menyampaikan kabar kelahiran itu kepada suami. Dan kami membahas lagi soal memiliki anak laki-laki di ym (yahoo messenger).
"Gimana nanti kalo anak kita cewek lagi, Pa?"
"makanya doanya dari sekarang...
  TUHAN kami mau anak laki-laki...tapi bila TUHAN kasih anak perempuan lagi, berilah 
  kami kekuatan untuk membuat anak lagi..hahahaha"
"Papa...kok doanya malah gitu.."
"Hahaha...itu bercanda saja mamaku, cintaku, sayangku...
  aku juga udah mikir-mikir gimana nanti kalo anak kita cewek lagi. Dulu juga 'Israel' garis
  keturunannya dari laki-laki. Apalagi belakangan ini saat teduhnya banyak dari Perjanjian
  Lama. Jadi kadang kepikiran gimana nanti kalo ngga punya anak cowok. Makanya berdoa
  saja..."
"Kalo perempuan baiknya kita lebih bersyukur apalagi Papa bakal dikelilingi bidadari-
  bidadari yang cantik dan sexy...
  tapi papa juga bakal disindir terus nantinya. Istrinya ngga bisa kasih anak laki-laki"
"ya, kan kita bisanya cuman minta, ya minta saja berdoa  minta anak cowok sambil
  bersyukur bisa menikmati hidup punya anak-anak yang cantik dan pintar."

Seorang teman pernah mengatakan, sepertinya bisa kalau kita konsultasi ke dokter ahli kandungan untuk mendapatkan 'anak dengan jenis kelamin yang sesuai keinginan'. Ada juga yang mengatakan, bisa kalau 'style bikin anaknya benar'. Memang secara ilmu semua ada tekniknya dan pengetahuan itu dengan mudah terakses lewat internet bisa kita pelajari dan praktek deh... Namun hasil akhir tetap ada pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Teringat lagi teman saya yang sudah memiliki 3 putri tadi. Saya belum menanyakan lebih lanjut kepadanya, bagaimana rasanya memiliki 3 anak perempuan, bagaimana reaksi sang suami. Apakah mereka masih tetap menginginkan seorang anak laki-laki, karena mengingat usianya yang sudah sangat riskan untuk memiliki seorang anak lagi.

Sementara saya, dari hati yang paling dalam ada sedikit rasa yang enggan saya menyebutnya kuatir. Chatting dengan suami tadi siang cukup meneduhkan saya, karena di lingkungan 'orang batak' pasti akan disinggung soal anak laki-laki. Setidaknya kami suami istri sudah punya pondasi yang kuat untuk saling mendukung dan sepakat mengakui kedaulatan-Nya adalah yang terbaik. Kami hanya bisa berusaha sebaik mungkin dan tetap berdoa memohon untuk anak ketiga kami nanti kiranya diberikan seorang anak laki-laki.


Minggu, 23 September 2012

Para Eyang


Kisah beberapa keluarga yang menggelisahkan hati saya, tidak ada maksud untuk mengumbarnya hanya  ingin berbagi sesuatu yang positif dari kisah-kisah ini...

  • Keluarga A
Suami bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Istri bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di pulau kecil di Sumatera. Memiliki 2 anak. Si kakak berumur 6 tahun, si adik berumur 10 bulan. Awalnya kedua anak ikut bersama Ibunya di pulau kecil sana. Sedangkan sang Ayah tetap bekerja di Jakarta. Semua berjalan baik-baik saja karena Ibu A ini memiliki seorang pembantu yang membantu pekerjaan rumah dan mengurus kedua anak. Tetapi akhirnya, pembantu harus pulang ke Jawa dan berhenti bekerja. Solusi sementara, si adik yang masih ASI terpaksa harus disapih dan dititipkan pada eyangnya di Yogyakarta. Sementara si kakak tetap tinggal bersama sang Ibu karena sudah bersekolah di sana. Sang Ayah, seminggu sekali setiap libur akhir pekan pulang ke Yogyakarta untuk menengok si adik.

  • Keluarga B
Suami dan istri bekerja pada perusahaan swasta di Jakarta. Memiliki 1 orang anak berumur 3 tahun. Baru-baru ini terpaksa harus menitipkan si anak pada eyangnya di Yogyakarta karena si anak yang ketahuan mendapat perlakuan kasar dari pembantu di rumah. Tidak hanya itu, jika si anak disuapi, lauk ikan atau daging diambil dan dimakan oleh pembantu. Sementara si anak diberi makan nasi hanya dengan sayur saja.
 
  • Keluarga C
Suami dan istri bekerja pada perusahaan swasta di Surabaya. Baru saja memiliki 1 orang anak berumur 5 bulan. Menitipkan si anak pada eyangnya di Yogyakarta. Sang eyang sendiri mengaku tidak begitu pandai memomong bayi sehingga dibantu jasa baby sitter dari agen. Tetapi baby sitter ini beberapa kali kabur seenaknya.

  • Keluarga D
Suami bekerja di luar kota Jakarta. Istri bekerja di Jakarta dengan 12 jam kerja, Senin sampai Jumat. Memiliki 3 anak. Anak pertama sekolah dasar kelas 2, anak kedua baru saja masuk TK, anak ketiga berumur 1 tahun. Lain hal dengan kisah keluarga sebelumnya, kali ini eyangnya yang mengalah dari Yogyakarta ke Jakarta untuk membantu memomong cucu-cucunya. Memiliki 1 pembantu saja ternyata tidak cukup.


Komentar saya:

Khusus untuk keluarga A, saya membayangkan jika saya di posisi Ibu A. Sungguh posisi yang begitu sulit harus berpisah dengan suami dan anak di tempat yang berbeda. Sementara sebagai PNS, waktu cuti tidak sebebas cuti pekerja swasta. Hmm...maukah Ayah A mengalah??

Bagaimanapun pilihan ada pada mereka. Saya yakin mereka sebagai suami istri sudah membahas dengan sematang-matangnya pilihan yang harus dijalani. Pasti ada alasan dan maksud yang lebih baik yang membuat mereka berada pada posisi saat ini.

Dari semua kisah diatas, saya cukup terhibur dengan hadirnya para eyang. Bersyukur mereka masih memiliki orang tua yang sangat care dan bijaksana. Di saat-saat menikmati waktu pensiun, masa berdua dengan pasangan, dengan tenaga yang terbatas para eyang masih dapat diandalkan untuk membantu mengurus cucu-cucu yang masih membutuhkan perhatian besar dari Ayah Ibunya. Oh...betapa beruntungnya mereka.

what do you think neighbors??


Minggu, 02 September 2012

Indahnya Perbedaan


Saya 100% berdarah Jawa. Bapak saya berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta. Ibu saya dari Semarang, Jawa Tengah. Namun, dalam keseharian saya dan keluarga, kami menggunakan bahasa Ambon sebagai bahasa "ibu" dalam berkomunikasi. Ya, karena saya memang kelahiran di Ambon. Selama 16 tahun saya hidup disana. Saya sendiri sampai sekarang belum begitu fasih berbahasa Jawa padahal sudah hampir 12 tahun tinggal di Yogyakarta.  
Menurut beta, bahasa paling gaul adalah bahasa dimana ale pung tana kelahiran... berkomunikasi lebih lepas dan menjadi diri sendiri.

Mendapat jodoh suami berdarah campuran Batak dan Dayak. Bapak mertua dari Sumatera Utara dan Ibu mertua dari Kalimantan Tengah. Ada rumor mengatakan demikian bahwa "kalau sudah merantau ke negeri orang, jangan lagi mendapat jodoh yang yang sama asalnya". Mungkin karena rumor ini, suami saya mendapat istri bersuku Jawa dan sedikit melanggar peraturan adat Batak, menikah dengan suku lain. Entahlah... siapa yang tahu tentang jodoh. Tuhan yang telah mengaturnya.

Hidup dalam keberagaman memang tidak mudah. Terutama dalam hidup berumah tangga. Suami istri yang sama-sama berasal dari satu kota bahkan satu desa saja bisa memiliki banyak keberagaman. Apalagi yang berbeda kota dan pulau. Tidak dapat dipungkiri juga, terkadang masing-masing menganggap adatnya yang paling baik dari adat pasangannya. Bagi saya, disitulah seninya perbedaan. Hidup jadi lebih berwarna bukan??



Bersyukur kami melihat perbedaan-perbedaan yang ada dengan dasar kasih, saling mengasihi dan menghargai. Paling penting adalah keterbukaan, jika ada adat dan budaya dari pasangan yang tidak sesuai dengan prinsip hidupmu, katakan terus terang saja tentunya dengan dasar kasih tadi.

So far so good, suami saya bisa membaur dengan adat Jawa. Saya sendiri juga sedang belajar adat Batak yang demikian kompleksnya. Saling menghargai bukan saja dengan pasangan, tetapi kami juga dapat menghargai orang lain yang berbeda suku dengan kami. Perbedaan budaya membuat keluarga kami semakin unik tentunya. Siapa tahu, saya nantinya akan mendapat menantu dari suku yang lain, atau barangkali mendapat menantu bule. Siapa yang tahu....Tuhan yang akan mengaturnya.